Tuesday, September 29, 2009

Tidak Butuh Syariah (5)


Albert Einstein dianggap manusia tercerdas di Abad 20. Dengan teori reltitivitasnya. Mengatakan “Saya tidak-lah lebih cerdas dari manusia pada umumnya. Tapi rasa ingin tahu tahu saya lebih dari manusia pada umumnya”. Rasa tidak puas merupakan kata kunci penting dalam perjalanan karier seorang Einstien.
Tidak puas, saya lebih sepakat kata tidak puas diatas hanya di khususkan dalam rangka mencari ilmu. Karena kalau untuk semua hal akan melahirkan manusia-manusia serakah yang tidak pandai bersyukur. Dalam al-Quran disebutkan kerusakan yang terjadi baik di darat ataupun di laut adalah ulah tangan manusia.
Manusia diberikan akal fikir yang membedakan dengan hewan. Andai manusia tidak punya akal maka  dia tidak ubahnya seperti hewan. Bahkan lebih hina lagi.
Hari selanjutnya saya buka jawban beliau di FB. Sebagaimana berikut:
Jangan beranggapan bahwa "sistem" adalah selalu berkaitan dengan kepentingan manusia. Di dalam sistem ada komponen fungsional, mekanisme, aturan (hukum), energi, interaksi, dan lain-lain. Semuanya harus berfungsi untuk mencapai tujuan sistem itu.

Alam semesta adalah merupakan sebuah sistem yang diciptakan oleh Allah. Keharmonisan terwujud (sesuai kehendak-Nya) jika seluruh komponen, mekanisme, hukum dan interaksi antar komponen berfungsi. Jika salah satunya tidak berfungsi, maka hancurlah (minimal terganggu) sistem alam semesta itu.

Untuk menuju kebahagiaan sejati (menuju kepada-Nya) tidak mungkin manusia mencarinya sendiri, karena manusia tidak akan pernah tahu. Allah yang mengetahui jalan sebenarnya, maka Dia menunjukkan kepada kita melalui Dienullah itu. Inilah yang disebut sistem.

Jadi, sistem jangan dipersempit hanya pada hal yang berkaitan dengan kepentingan manusia, apalagi buatan manusia. Sekali-kali tidak!



Tapi ada yang janggal, pertanyaan baru muncul lagi. Memang Allah yang Maha Mengetahui yang terbaik untuk manusia. Ibarat, sebuah mobil yang paling tahu perawatannya adalah produsen mobil itu, Allah melebihi produsen itu. 


Sistem yang dimaksud tidak hanya yang berkaitan dengan Allah akan tetapi juga dalam kehidupan di dunia ini.
Jadi kesimpulannya tetap sistem yang dimaksud itu ada  integrasi Hablumminallah dan Hablumminannas, hubungan horizontal dan Vertikal.
Nabi Muhammad suatu hari pernah mengunjungi suatu masyarakat. Salah seorang dari mereka bertanya: Bagaimana tatacara menanam pohon kurma. Beliau menjawab “Kamu lebih tahu tentang urusan duniamu” (Hadits Bukhori)
Jadi, tetap yang lebih tepat dalam hal ini meletakkan Basic Value dalam urusan duniawi, bukan dengan sebuah sistem. Apalagi disebut dengan sistem syariah. Apakah tidak lebih tepat sistem yang islami?
Pernah suatu hari saya bertemu dengan seorang sahabat. Dia mengkritik pakaian saya, katanya bukan pakaian Islam. Pakaian Islam menurut dia adalah berjubah, bergamis. Kemudian saya balik bertanya; “Bukankah Abu Jahal, Abu Lahab dan orang-orang kafir Quraisy di Mekah dan Madinah dulu juga menggunakan Seraban dan gamis? Basic value dalam Islam dalam hal berpakaian adalah menutupi aurat. Bukan baju koko, bukan gamis. Baju koko adalah pakaian khas China sedangkan gamis pakaian ala Arab. Kalau tidak salah di Arab-pun banyak orang kafir.
Kembali pada persoalan syariah, menurut hemat saya, seorang muslim harus memakainya sebagai suatu rangkaian keberagamaan. Tapi untuk urusan ibadah mahdah digunakan secara tekstual sebagaimana yang diwajibkan. Karena pada dasarnya semua ibadah itu haram kecuali yang telah diperintahkan/ditetapkan. Sedangkan untuk pola hubungan horizontal tetap menggunakan Islam sebagai Basic Value, nilai-nilai Islam yang di pake. Bukan meletakkan Islam sebagai suatu sistem.
Saya sepakat kalau sistem yang dimaksud untuk rangkaian hubungan Vertikal.

No comments:

Post a Comment

Silahkan ngasi komentar... bagi siapa saja...