Sunday, September 27, 2009

Madura is Flat (2)

Langit sudah memerah, sebentar lagi malam akan menelan cahaya. sebentar lagi sang tenggelam ke peraduannya. Bis yang kami tumpangi melaju pelan tapi pasti. Disana-sini banyak terlihat orang-orang lalu-lalang, mungkin mereka pulang kerja atau mau keluar sekedar menunggu malam. Malam ga ditunggu-pun pasti datang hehe… dalam lamunanku melihat orang-orang ini saya jadi teringat beberapa waktu yang lalu sempat melihat post-nya seorang kawan yang mengatakan dan mempertanyakan bagaiamana masyarakat Madura paska terbangunnya suramadu, yang akan membawa perubahan diberbagai segi, sedangkan masyarakat Madura enggan menyekolahkan anaknya..”. katanya demikian di posting salah satu blog di internet.


Kalau dikatakan “Orang Madura Enggan Menyekolahkan Anaknya” kayaknya kata-kata itu kurang pas, setahu saya tidaklah demikian. Bukannya enggan menyekolahkan anaknya melainkan kebanyakan masyarakat Madura lebih memilih pendidikan pesantren dibandingkan pendidikan umum.


“Mas jama berapa kita berbuka?” Tanya Ayak.
“Ya, bentar lagi. Sekitar setengah jam”. Kataku sambil melirik jam tangan. “Wah, kamu ini hebat ya… masih sanggup berpuasa…”.
“Iya mas… eman-eman kan kalau batal nanti ada tanggungan hutang puasa…”.
Ayak, ayak… gumamku dalam hati, setahu saya Allah memberikan keringanan untuk tidak berpuasa bagi orang yang sedang bepergian. Dan kalau ga salah Allah menganggap sombong orang yang tidak menggunakan rukhsoh-Nya hehe… itu apologi saya saja she… karena saya ga puasa.
“Mas, itu orang lagi ngapain saja…”. Kata Ayak sambil menunjuk anak-anak muda dipinggir jalan. Meraka kayak cangkruan. Nyantai bareng sambil menunggu datangnya waktu berbuka.
“Oooo.. itu, orang-orang yang ‘Nyare Malem’ atau dalam bahasa jawanya Ngabuburit…”. Jawabku singkat. Nyare malem adalah kebiasaan masyarakat menjelang buka puasa di bulan ramadlan. Hal ini bukan saja dilakukan oleh masyarakat Madura akan tetapi hamper semua masyarakat yang nota bene muslim. Biasanya hanya duduk-duduk dipinggir jalan. Atau sambil jalan-jalan santai. Sekitar 15menit sebelum buka puasa mereka sudah pada kembali ke rumahnya masing-masing.
“Itu mas lambing apa?”. Kata Ayak, tatapan matanya menuju kearah gambar besar seorang ksatria. Dengan baju iris-iris merah putih, udheng dikepala, sebelah tangannya memegang sebilah celurit. Dia-lah pak sakera. Wah, saya jadi membayangkan kepahlawanan beliau. Kalau memlihat sepintas sangar memang penampilannya. Kayak orang yang suka berbuat jahat, keras. Akan tetapi lambing Sakera sebenarnya adalah lambing kerasnya karakter orang Madura, keras dalam segala hal. Tapi pertanyaannya sekeras lambing itukah nantinya masyarakat Madura ketika banyak budaya-budaya luar yang masuk, semoga saja…
Tidak mudah untuk konsisten terhadap adat istiadat. Semuanya akan bergeser sesuai denga perjalanan sang waktu. Semuanya akan berubah, tak terkecuali perubahan itu sendiri. Pertanyaannya adalah perubahan apa yang kita inginkan?? Dunia ini dinamis, yang muda sekarang kelak akan menjadi tua. Dulu berbicara dengan orang pada saat yang sama di lain tempat adalah dongeng para orang tua, sekarang dengan perkembangan zaman semuanya bisa. Malah kita bisa bicara face to face dengan orang nun jauh disana dengan adanya teknologi 3g. semuanya akan berubah, kecuali Tuhan yang tiada kan pernah berubah.
Dengan rampungnya Suramadu ini Madura akan mengalami banyak perubahan, salah satunya perubahan dalam budaya. Semoga masyarakat Madura yang terkenal agamis kelak tidak hanya menjadi cerita orang tua belaka. Semoga konsistensi keberagamaan ini tetap terpatri dalam jiwa masyarakat Madura, Amien.

No comments:

Post a Comment

Silahkan ngasi komentar... bagi siapa saja...