Thursday, April 05, 2012

Peran Guru dalam Membangun Budaya Kejujuran Akademik

Ketika saya dengar ada lomba Kreasi Blog untuk guru-guru dilingkungan sekolah Muhammadiyah kebetulan saya diruang guru bersama Pak Munali. Saya tanya ke beliau: “Menurut jenengan apa yang harus dilakukan oleh seorang guru untuk membangun budaya kejujuran akademik?”.
“Guru harus bisa menjadi model”. Jawab Pak Munali singkat, padat dan jelas. Tapi saya masih bingung.
“Model yang bagaimana yang dimaksudkan Pak?” saya tanya.
“Guru harus menjadi model semua peraturan yang ada di sekolah”. Katanya tegas. “Jika Rosulullah dulu menjadi model percontohan agama Islam maka guru semestinya menjadi model implementasi peraturan sebuah
sekolah” lanjutnya.
“Mengapa demikian?” kata saya. “Karena guru ada digarda paling depan yang berhadapan langsung dengan peserta didik”. Suasana hening sebentar.
“Oke, sebelum kita jauh membicarakan topik ini gimana kalo kita beri limitasi dulu agar pembahasannya tidak kemana-kemana, ketika mendengar kata Kejujuran Akademik apa yang ada di benak Jenengan?”.
“Menurut saya, Kejujuran Akademik itu menjalankan apa yang telah digariskan oleh akademi atau lembaga. Ketika civitas akademika sholat jama’ah sementara akademik/sekolah mewajibkan untuk sholat jama’ah maka dia sudah jujur dalam konteks akademik”. Lama kami berdiskusi, hingga tanpa terasa adzan berkumandang, guru dan dan murid sudah pada berbondong-bondong menuju masjid untuk
melaksanakan sholat dhuhur.


Adapun garis-garis besar hasil diskusi kami adalah sebagai berikut:
Ada pepatah mengatakan: ‘Kejujuran adalah mata uang yang berlaku dimana-mana’. Berarti orang yang jujur, dimanapun dia berada akan senantiasa bisa diterima, adapted person. Trus, bagaimana dengan Kejujuran akademik, istilah yang sangat formal tapi juga tidak jelas. Pertama kali mendengar istilah itu langsung muncul pertanyaan dalam benak saya: berarti ada akademik yang tidak jujur ya? Baiklah sebelum lebih jauh membicarakan tentang kejujuran akademik alangkah tepat kita rumuskan dulu definisinya, agar pembahasan kita lebih terarah.


Surat edaran salah satu universitas negeri ternama menyebutkan bahwa termasuk ketidak jujuran akademik adalah mahasiswa yang melanggar undang-undang universitas[1]. Di pendapat lain disebutkan mahasiswa/siswa yang nyontek ketika ujian juga dikategorikan sebagai ‘Ketidak jujuran’ akademik. Lebih jauh kita lihat disitu ada 2 unsur yang perlu diperjelas yakni, akademik dan Kejujuran Akademik.
Akademi (bahasa Yunani: καδημία) adalah suatu institusi pendidikan tinggi, penelitian, atau keanggotaan kehormatan. Nama ini berasal dari sekolah filsafat Plato yang didirikan pada sekitar tahun 385 SM di Akademia, sebuah tempat suci Athena, dewi kebijaksanaan dan kemampuan, di sebelah utara Athena, Yunani[2]. Kebetulan pas diskusi hotspot sekolah nyala, jadi bisa browsing-browsing deh…
Akademik (imbuhan-k) bermakna kata sifat yang disandang oleh sesuatu.

Sedangkan kejujuran menurut Albert Hendra Wijaya adalah mengakui, berkata atau memberikan suatu informasi yang sesuai kenyataan dan kebenaran[3].
Jadi istilah Kejujuran Akademik bisa diartikan: berbuat sesuai dengan tatacara yang berlaku di suatu lembaga pendidikan. Itu sih, pendapat saya, kalo tidak sesuai mohon koreksinya.
Selanjutnya, dalam kaitannya dengan membangun budaya kejujuran akademik guru seharusnya membiasakan dengan hal-hal sebagai berikut:


Ikhlas
Menjadi guru bukan hanya untuk mencari uang, (money oriented). Tapi idealnya menjadi guru adalah panggilan jiwa untuk ikut andil mencerdaskan bangsa. Bagi muslim, menjadi guru adalah sarana investasi akherat. Karena amal yang senantiasa mengalir pahalanya walau kita sudah mati salah-satunya adalah ilmu yang bermanfaat[4]. Sekali mendayung lima pulau, eh satu dua pulau terlampaui, hehe… dunia dapat akherat juga dapat, bukan hanya pahala tapi gaji juga dapat, apalagi yang sudah sertifikasi hehehe… Itulah value yang dapat dijadikan bekal dalam mengajar.


Mengapa niat menduduki puncak teratas dalam kualitas perbuatan seseorang? Karena dari niat itulah semua implementasi suatu perbuatan. Dalam kontek mengajar, guru yang orientasinya melibatkan nilai akherat dalam proses PBM (Proses Belajar Mengajar) akan cenderung tidak pemarah, mendidik dengan sepenuh hati. Ingat lho ya, guru itu adalah tenaga pendidik bukan hanya ilmu akademis yang semestinya diberikan kepada murid tapi nilai moral dan tingkah laku yang harus dicontohkan kepada murid.


Tegas
Tegas tidak harus kiler, tegas tidak harus marah. Tegas itu teguh dalam prinsip. Tegas itu value bukan tindakan kasar. Implementasi ketegasan tidak harus dengan kemarahan.
Saya jadi ingat, ketika menjaga Ujian Sekolah kemarin (di SMK MUTU- red.). Ada murid yang saya tegur ketika mau menyontek. Dia bilang: “Oalah Pak, ga kasian ta Pak kalo nilaiku jelek..?” katanya sambil merengek. Saya sadar dia sudah kelas XII, sebentar lagi akan lulus. Jika akumulasi dari nilai sekolah dan UN-nya dia memenuhi standart kelulusan maka dia berhak menerima ijazah, akan tetapi jika nilai dibawah standart maka dengan sangat menyesal dia akan bertemu lagi dengan saya dikelas (tidak lulus- red.). Dalam hati saya kasihan kalo dia tidak lulus, mengapa saya larang? Karena, dengan membiarkan dia menyontek sama halnya dengan membenarkan apa yang dia lakukan. Sekolah itu bukan hanya mencetak murid yang bisa menghadapi monster UN. Jauh daripada itu adalah untuk mencetak kader-kader bangsa yang siap menghadapi kemajuan zaman dengan segala dinamikanya. Mereka kelak yang akan menerima tongkat estafet kepemimpinan bangsa ini. Menyontek adalah mental tidak mandiri, kebiasaan menyontek inilah yang akan menciptakan ketergantungan terhadap orang lain. Bayangkan jika dia suatu saat menjadi pemimpin bangsa ini mungkin tidak akan confidence menyelesaikan persoalan bangsa, bergantung sama IMF paling ya ketika krismon, hehehe…


Guru itu dianggap paling tahu dan paling baik ketika didalam kelas. Idealnya, semua undang-undang yang dibuat oleh sekolah mampu dikejawantahkan oleh seorang guru. Selama ini, tidak plagiasi sering disebut-sebut sebagai tindakan ‘Ketidak-Jujuran Akademik’. Anehnya jarang sekali, moralitas dikaitkan dengan hal tersebut. Hal ini, bisa saja karena moral itu tidak punya tolok ukur secara matematis dan ilmiah. Padahal mentalis/moral atau dalam istilah lain disebut dengan soft skill hampir 80% menentukan kesuksesan seseorang.


Penguasaan Kelas/Materi
Something from heart goes to heart. Ketika, melihat anak didik ada yang cepat mengerti atau tidak memperhatikan pelajaran yang disampaikan seharusnya guru introspeksi diri. Apakah dia sudah menguasai materi yang diajarkan? Atau metode mengajarnya sudah inovatif apa belum? Karena selain penguasaan materi metode mengajar dalam rangka penguasaan kelas juga punya peranan penting dalam proses belajar mengajar. Jika ternyata materi yang diajarkan tidak menguasai dan metodenya monoton itu berarti seorang guru sudah ‘Tidak Jujur secara Akademik’. Karena hal itu belum memenuhi kompetensi guru[5]. Sajikanlah materi pelajaran itu dengan ketulusan dan keikhlasan, insya-Allah siswa akan cepat mengerti.
Merujuk pesan Pak Imam Robandi[6], saat beliau ditanya salah seorang kepala sekolah, Bagaimana caranya agar siswa senang belajar? Jawab Beliau: Guru harus senang belajar. Ingat, orang (termasuk Guru) yang tidak mau belajar akan mencetak masa depannya sama dengan masa lalunya. Guru yang hanya mengandalkan ilmu yang pernah diperolehnya pada saat kuliah akan menjadi penonton abadi keberhasilan orang lain yang selalu senang meng-update ilmunya. Salah satu alasan beliau adalah karena sekarang sudah masuk pada zaman horizontal, zaman dimana akses informasi sudah dapat dijamah oleh semua orang.


Kalau kita pernah membaca buah pikiran dari Samuel Huntington, Clash Of Civilization atau Thomas L. Friedman, The World is Flat, disitu juga dijelaskan bahwa bumi ini sudah datar. Dengan arus informasi yang sedemikian canggih memberikan akses informasi dan ilmu pengetahuan melewati batas ras, suku, bangsa dan Negara, beyond limits. Dalam kontek guru dan murid, siapa cepat dia dapat. Siapa yang melek informasi dia yang lebih pintar. Guru hanya lebih dulu melek informasi makanya dia dikatakan lebih pintar. Hal ini akan berbeda ketika murid yang lebih dulu melek informasi, jadi ketinggalan deh gurunya hehehe…


Impressia
Kesan, juga urgen dalam PBM. Misalkan, ada kebenaran datang dari orang yang kita benci, kebenaran itu akan sulit kita terima, sebagus apapun kualitas kebenaran itu. Begitu juga murid, kalau melihat gurunya saja dia sudah males apalagi menerima pelajarannya. Yang pertam muncul dalam benak dia adalah guru yang kiler atau ga? Guru yang mengerti atau ga? Jadi sebelum seorang guru menularkan ilmunya dia punya kewajiban untuk memberikan kesan yang baik pada anak didiknya. Buatlah murid memandang guru dengan kacamata bening, sehingga jernih menyikapi apa yang disampaikan oleh seorang guru. Bukan kacamata hitam, semua tampak gelap, suram dan membosankan.


Budaya itu pembiasaan. Yang berhadapan langsung dengan murid adalah guru. Yang paling efektif untuk mentransformasikan nilai-nilai moralitas itu adalah guru. Jika peraturan sekolah mewajibkan murid untuk sholat jama’ah, seharusnya yang sholat jama’ah duluan adalah gurunya. Pembiasan demikian apabila dilakukan setiap hari akan membentuk karakter dan budaya. Di Jepang suasana dalam kereta tidak serame kereta api di Indonesia, para penumpang rata-rata sibuk dengan baca buku. Membaca buku dianggap sangat efektif untuk mengisi kekosongan-saat santai, wasting the time. Sementara di Indonesia pasti rame, dengan ngerumpi hehehe… tentunya, budaya positif (membaca-Pen.) seperti itu tidak ujuk-ujuk atau tiba-tiba muncul tanpa ada yang mengawali. Jika dalam skala luas yang mengawali-pun tidak hanya satu dua orang. Harus ada komitmen bersama. Dalam suatu lembaga/institusi, khususnya pendidikan, komitmen bersama untuk membangun kejujuran akademik itu penting adanya. Tapi perlu di ingat, manusia itu sering lupa, jika komitmen diatas tidak tertuang dalam undang-undang kecenderungan dilanggar peluangnya besar. Kembali ke undang-undang lagi deh…


Terahir, saya yakin masih banyak pembiasan-pembiasan lain yang harus ada dalam diri seorang guru dalam rangka membangun budaya Kejujuran Akademik. Hasil diskusi diatas hanya sebagian saja. Jadi kalo ada yang merasa kurang lengkap dan ingin menambahkan kami persilahkan.



[1] www.fisip.ui.ac.id/kurikulum/2010/kejujuran.pdf
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Akademik
[3] http://indonesia.siutao.com/tetesan/kejujuran.php
[4] “Apabila anak Adam (manusia) meninggal dunia maka putuslah amalnya kecuali tiga perkara yaitu amal jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang mendoakan untuknya.” (HR. Muslim)
[5] Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 Tentang Standar Kualifikasi Akademik Dan Kompetensi Guru.
[6] Change And Movement, Kekuatan Gerakan Dakwah Horizontal Sekolah-sekolah Muhammadiyah. Solar Science Publisher. Imam Robandi, hal.79

No comments:

Post a Comment

Silahkan ngasi komentar... bagi siapa saja...