Tuesday, December 20, 2016

Inilah Caranya Agar Bahagia

Sungguh menggugah dan mencerahkan. Dia berjuang keras untuk bertahan hidup. Untuk makan. Mungkin untuk istri dan juga anaknya. Dia, entahlah saya tidak tahu namanya siapa. Yang jelas aku kagum padanya.
Terus terang pagi ini, banyak keluhan bertumpuk di kepalaku sejak bangun tidur. Tampaknya, sisa-sisa kekalutan tadi malam masih menancap mancep di otakku. Sudah merasa berjuang dengan segala kemampuan dan daya, tapi masih saja ada yang belum terpenuhi.
Dengan melihatnya, saya sadar. Betapa aku sudah jauh lebih baik darinya. Mengapa tidak bersyukur. Dia, dengan kakinya yang hanya satu, menjajakan berdiri di lampu merah. Bukan untuk meminta atau mengemis. Tapi, menjual koran. Sementara kita lihat, banyak orang yang masih muda dan sempurna menengadahkan tangan untuk mengemis. Dia, dengan keterbasannya seperti itu, pantang untuk meminta-minta. Luar biasa…
Hampir setiap hari aku lihat orang ini di lampu merah. Entahlah, jam berapa dia pulang. Setiap aku melihatnya, bertambah syukur di hati. Dia telah menginspirasi untuk semangat dalam hidup.
Memang, ketika kita selalu lihat ke atas dalam masalah dunia, mungkin hati tidak akan dianugerahi rasa syukur. Karena selalu kurang dan kurang. Karena, tidak ada orang yang langsung puas mendapati apa yang diinginkan. Entah besok atau lusa dia akan ingin sesuatu yang lain.
Padahal, Allah sudah menjelaskan bahwa jika bersyukur akan bertambah nikmat. Orang bersyukur akan semangat dalam hidup. Cerah melihat masa depan. Dengan begitu, ide-ide brilian muncul. Sehingga setiap usaha dan apa yang dikerjakan akan maksimal. Mungkin inilah salah satu jalan bertambahnya nikmat itu.
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim [14]: 7)
Janji Allah akan ditepati. Mungkin kita akan bertanya, mana bentuk pertambahan nikmat itu saat kita bersyukur?
Kebanyakan kita beda dalam memandang hakikat nikmat. Kebanyakan orang terlalu materialistis. Nikmat baru ketika dapat uang banyak, mobil bagus dan seperangkat hal-hal praktis lainnya. Padahal hembusan nafas yang teratur dan lega juga suatu nikmat.
Badan sehat, tak berpenyakit juga nikmat. Bayangkan, jika setiap hari kita harus selalu minum obat. Bayangkan, jika tidak banyak makanan yang boleh kita makan lantaran komplikasi berbagai macam penyakit. Bayangkan, untuk sekedar buang air kecil saja harus disedot seperti penderita Sirosis. Penderita penyakit ini tidak bisa mengeluarkan keringat atau buang air kecil sehingga, badannya menjadi gemuk. Lebih tepatnya kembung kayak balon.
Tapi, alhamdulilah kita tidak termasuk penderita penyakit-penyakit itu. Setiap hari kita masih bisa bekerja dengan lancar dan aman. Patutkah tidak bersyukur dengan semua nikmat itu?
Dalam Al-Quran surat
Allah menyentil kita sebanyak 31 kali dengan pertanyaan: Maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan? Ini kalimat tantangan dan peneguhan. Setelah menyebutkan beberapa nikmat, pertanyaan yang sama diulang kembali.
Bahwa kita manusia, sering lupa diri. Tidak menyadari apa yang telah kita nimati selama ini adalah agerah yang diberikan Allah pada kita. Ingat, selain berjanji untuk menambahkan nikmat Allah juga mengancam dengan azab-Nya yang pedih bagi orang yang mengingkari nikmat-nikmat-Nya.
Jadi, bersyukur adalah pilihan yang terbaik untuk kita. Paling tidak  dengan tiga cara: Hati, Lisan dan Perbuatan.
Hati, semua yang kita lakukan berawal dari hati. Kualitas ibadah kita dinilai dari niatnya, yang tempatnya di hati. Rasa syukur harus dari dalam hati yang tulus dan ikhlas. Dengan segenap kesadaran bahwa manusia hanya bisa berusaha. Hasil akhir semuanya Allah yang memberikan. Banyak nikmat yang justru diberikan-Nya tanpa harus kita raih dengan usaha.
Sayang, nikmat yang cuma-cuma itu sering kita lupakan. Atau bahkan kadang dianggap bukan nikmat. Misalnya, Detak jantung kita yang normal dan tidak pernah berhenti adalah nikmat yang tidak bisa dinilai dengan uang. Bayangkan jika detaknya berhenti beberapa detik saja, apa yang akan terjadi? Dan alhamdulilah jantung kita tidak pernah lelah untuk berdetak.
Jadi, perbuatan yang terlahir dari hati menjadi kualitas awal atas semua perbuatan. Karena di hati inilah tempatnya perasaan lega/ legowo. Sebagai dampak dari rasa syukur.
Lisan, betapa banyak kata-kata negatif muncul dari lisan kita. Tentu, sesuatu yang negatif akan memancarkan frekuensi yang negatif pula. Saat lisan ini penuh dengan keluh kesah, seolah menjadi sebuah komando untuk seluruh anggota tubuh untuk berkeluh. Dan akhirnya fisik pun capek.
Alhamdulilah, itu yang sering terucap dari lisan sebagai representasi rasa syukur. Apakah itu hanya sebuah kata saja? Alhamdulilah artinya “Segala puji bagi Allah”. Pujian itu sebagai bentuk syukur karena telah dianugerahi nikmat.
Dengan segenap hati dan perasaan mengakui nikmat-nikmat itu. Ucapan itu bukan hanya di lisan. Tapi merasuk dalam hati.
Perbuatan, syukur yang sudah terucap dan terpatri dalam hati menjadi sebuah kedustaan manakala perbuatan kita sebaliknya. Allah tidak minta balasan dari setiap nikmat yang Dia berikan. Andai semua manusia atau bahkan makhluk di alam ini tidak bersyukur, tidak akan mengurangi eksistensi Allah sebagai Khalik. Allah berdiri dengan sendiri-Nya. Tanpa bantuan siapa pun.
Manusia dituntut untuk bersyukur agar tahu diri. Dan sadar, bahwa mereka tidak bisa apa-apa kecuali dibantu oleh-Nya.
Syukur dalam perbuatan menjadi bukti pengakuan dari hati dan ikrar dalam lisan. Perbuatan yang mencerminkan syukur adalah komponen pelengkap bahwa kita tidak dusta dengan rasa syukur itu.
Salah satu bentuk syukur dalam perbuatan adalah memanfaatkan semua anugerah Allah untuk jalan kebaikan. Dua kaki dan tangan kita sehat dan sempurna, sebaiknya dimanfaatkan untuk ibadah. Membantu sesama. Mencari nafkah untuk keluarga. Wallahua’lambissawab.