Tuesday, September 22, 2009

Madura is Flat


Setelah lama berputar di kota Surabaya akhirnya bis yang kami tumpangi sampai pada jembatan bersejarah yang menghubungkan Surabaya dan Pulau Madura. Suasana mulai rame banyak komentar-komentar yang otomatically muncul dari bibir penumpang. Gorden jendela bis hampir semuanya tersingkap. Tampaknya kebanyakan penupang ingin menikmati suasana diluar.
“Kak ini jembatan apa namanya kok panjang banget….?” Kata Ayak setengah takjub.
“Ini namanya jembatan suramadu. Ini lho yang sering masuk di siaran TV…”
“Oooo….” Ayak kayaknya sudah tidak konsetrasi dengan jawaban itu. Ia lebih larut dengan pemandangan yang terhampar di depan matanya.
“Indahnya ya….”. Bisikku pada Surya.
“He ee…”. Surya-pun sudak ga konsentrasi dengan bisikanku. Matanya seolah melahap semua dihadapannya, tak ingin terlewatkan sedikitpun.
Orang-orang begitu terkesima dengan jembatan yang panjang ini. Begitu hebatnya sang arsitek. Bagaimana lautan tiang-tiang penyangga ditancapkan di tengah-tengah lautan yang begitu dalam. Bagaimana alat-alat berat mengangkut semen, pasir dan diramu detangah-tengah lautan ini.
Takjub dan sangat takjub. Tapi kalau kita lihat lebih jauh siapa yang telah menancapkan pondasi-pondasi gunung kedalam perut bumi. Bagaimana ada semburan api keluar dari perut bumi. Bagaimana langit nun jauh diatas sana indah tergantung dengan hiasan lazurdinya yang membiru. Siapa-kah Sang Arsitek? Bisakah manusia membuat hal yang sama? Tiada yang bisa menjadi arsitek kecuali dia yang Maha Kuasa.
Kelihatan sekali kalau jembatan ini barusan saja di bangun. Di kanan kiri masih tampak beberapa bagian kecil belum selesai.
Sang mentari sudah bergeser sepenggalan ke arah barat Pertanda hari sudah menjelang sore. Indonesia kini masih tetap seperti yang dulu. Seperti desa ini masih tetap seperti yang dulu. Tak ada perubahan. Tadi pas pulang kebetulan melewati jembatan yang katanya terpanjang se-Asia Tenggara. Ada juga yang bilang terpanjang ke-5 sedunia. Jembatan Suramadu. Demikian orang-orang memanggil jembatan ini. Mungkin karena jembatan ini menghubungkan antara Surabaya-Madura makanya disebut dengan jembatan Suramadu.
“Kak panjang banget ya…” Kata Shinta yang kebetulan mudik kali ini dia ikut. Dia bersama kakaknya lebaran dirumah mertua di pulau ini. Dengan wajah yang agak heran dia terus memelototi hamparan lautan yang membentang.
“Sudah lama aku ga lihat pantai….”. Gumamnya pelan. Ayak-pun demikian dia tak kalah takjubnya melihat pemandangan ini. Ayak adalah adik Shinta. Mereka berdua kakak beradik. Mereka adalah adik ipar dari Surya temanku.
Bis terus melaju dengan kencang. Memang saya rasakan dengan adanya jembatan ini mengurangi tingkat kemacetan. Biasanya Hari Raya -5 pelabuhan penyeberangan yang menghubungkan dua pulau ini macet. Bisa sampe berjam-jam hanya untuk menyeberang. Dan asyik dan enjoy memang dengan adanya jembatan ini kemacetan yang melelahkan dan membosankan tidak terjadi.
Jembatan ini sebenarnya dibangun sekitar 10 tahun yang lalu. Tapi baru dapat dirampungkan pada pertengahan tahun 2009 ini. Ada banyak kontroversi yang muncul diawal-awal pembangunannya. Sebagian besar ulama pulau Madura menolak dengan alasan yang sangat rasional menurut pemahaman mereka. Dengan adanya jembatan ini secara otomatis akan membawa dampak budaya yang bisa mengurangi nilai-nilai luhur yang telah lama terbangun di pulau ini. Tapi disisi lain pihak tertentu justru sangat mendukung. Karena dengan dibangunnya jembatan ini memungkinkan banyak investor baik asing ataupun dalam negeri untuk membangun infra-struktur di pulau ini. Dengan harapan nantinya dapat membawa perubahan dan perbaikan perekonomian masyarakat setempat. Atau jangan-jangan penduduk di pulau ini akan menjadi tamu di rumahnya sendiri karena tidak siap menghadapi persaingan yang akan muncul. Mungkin hal ini yang muncul di benak para ulama-ulama yang menolak tersebut.
Tapi yang pasti ketika perubahan itu datang akan banyak terjadi trasnsformasi budaya yang biasa mengikis budaya setempat. Dan lebih cenderung kearah negatif.
Memang biasanya kemajuan kemajuan suatu daerah dalam hal ini kemajuan industri berbanding terbalik dengan peningkatan moral dan budaya.
Apapun yang menjadi kontroversi yang pasti jembatan ini sudah selesai dibangun. Dan sejak sekitar 1,5 bulan yang lalu diresmikan presiden.
“Hallo…. Dek pean tahu tak ceritain ya..” Kata Andi seraya menempelkan HP di telinganya.
“Ne Aasyik banget dek, saya sudah sampe di jembatan Sura-Madu…”. Katanya sambail setengah berseru kegirangan. Karena dia baru kali ini melewati jembatan ini.
Wee… senengnya rek…. Bagus mas ya..??” dari seberang menjawab.
“Ya Iya lah… Suramadu gitu lho…”.
“Sebagus apa she… jadi pengen lihat…”.
“Sejauh mata memandang terhampar lautan membentang. Ada banyak burung camar beterbangan saling bernagkulan, kadang bersenggolan berebut ikan. Kanan-kirinya tempat sepeda. Sedangkan jalur lebar ditengahnya khusus kendaran roda empat. Ditengah-tengah jembatan agak menanjak kemudian beberapa meter ke-atas. Mungkin dibawahnya tempat kapal yang mau lewat. Kata sebagian orang sih bisa diangkat….kayak buka tutup itu paling ya….”.
”Ko paling seh….. “
“Iya habisnya saya bukan arsiteknya hehehe…”
“Trus rame ga mas…?”
“Ruaaame Pol!!! Tapi sayang kayaknya ga bisa berhenti ditengah-tengahnya untuk melihat pemandangan. Malah barusan tadi saya lihat polisi mengahmpiri ketika salah-satu kendaraan mandek ditengah-tengah jembatan…”
“Oooo… mungkin terlalu berbahaya….”.
Memang jika diperbolehkan berhenti di tengah-tengah jematan ini sangat besar bahayanya. Ini juga bisa menjadi tempat bunuh diri yang efektif.
Pulau Madura terkenal kental budayanya. Jangankan di tanah kelahirannya sendiri dimana tempat orang Madura berada tetap dia bawa budaya nenek moyangnya.
Jadi teringat salah seorang teman saya ketika dia korespondensi dengan MH. Ainun Nadjib di lapangan luar Gajayana Malang. Ketika itu tema yang diangkat cak Nun tentang Pemilihan Presiden ditaun 2004.
“Cak saya mau nanya. Dari serangkaian pemaparan cak Nun tadi kayaknya belum mengarah pada satu kesimpulan calon Presiden yang pas untuk kebutuhan bangsa indonesia saat ini.”. Hadirin semuanya menyimak korespondensi itu. Sebelum cak Nun menjawab teman saya itu melanjutkan. “Saya harap cak Nun menjawabnya dengan bahasa Indonesia saja…”.
Mendengar itu cak Nun balik bertanya, “Jenengan  orang mana?”.
Teman saya menjawab. “Madura…”. Langsung serentak penonton ‘Geeeeeeerrr!!!!’
“Beginilah orang Madura, dimana-dimana selalu pake bahasa Madura. Beda sama orang Cina. Di jawa mereka pake bahasa jawa. Di kalimantan dia pake bahasa kalimantan di jawa barat mereka pake bahasa sunda. Tapi orang Madura dimana-mana tetep saja pake bahasa madura…”.
“Geeeeeeeeerrr!!!” kembali penonton serempak bersorak.
Karena mungkin bahasa merupakan salah satu bagian penting dalam suatu komunitas masyarakat makanya orang Madura seperti itu.

----------o0o----------

Bis yang kami tumpangi telah sampai di bibir pulau Madura. Ada pertigaan disini. Kekiri mungkin kerah Kamal, tempat pelabuhan. Tapi kami tetap saja luru kedepan. Setelah beberapa kilometer sampailah pada pertigaan yang ke-2. Disini jalur utama jalan antar kabupaten. Jalan yang biasanya dilewati oleh bis-bis dari jalur surabaya ke tujuan akhir Sumenep.
Jalanan tampak sepi, tidak seperti hari-hari biasanya. Mungkin karena hari ini masih dalam suasana bulan puasa. Dari tadi pedagang asongan tidak seperti biasanya juga. Hanya tampak seliweran sebagian saja.
Alhamdulilah, di Madura makan siang hari di bulan ramadlan keihatan aib. Tidak seperti di kota-kota besar disini walau mungkin ada sebagian warung yang masih buka tapi biasa masih sembunyi-sembunyi atau paling tidak masih di tutupi tabir biar yang sedang di dalam warung tidak keihatan orang. Mungkinkah suasana ini masih tetap terjaga jika beberapa tahun yang akan datang pulau ini banyak dihuni oleh pendatang dari berbagai tempat. Apalagi kalau para pendatang itu adalah turis-turis asing?.
“Yah, yah… “ kata Fahri sambil menunjuk ke botol minuman anak kecil. Fahri masih berumur sekitar 2 tahun. Dia hasil perkawinan antara orang Madura dan Sumbawa. Tapi tinggalnya di Malang.
“Ini nak…”. Kata Surya sambil menunjuk ke salah satu botol minuman di tasnya. Fahri mengangguk. Langsung saja tanpa fikir panjang Fahri meneguk minuman itu. Hal yang sama tidak mungkin sama terjadi ketika hal itu dlakukan  oleh orang dewasa. Makan atau minum siang hari di bulan puasa. Karena hal tersebut merupakan aib dalam tradisi Madura.
Bis terus saja melaju, meninggalkan kepulan-kepulan asap yang menyengat. Inilah polusi udara. Yang punya kontribusi bocornya lapisan ozon. Mau bagaimana lagi wong masih fasilitas inilah yang ada di negeri ini.
Sampai disatu tempat, banyak orang-orang berhamburan dalam masjid. Ooo sekarang bulan puasa, gumamku.
Tampaknya masjid merupakan masjid jamik. Biasanya setiap kota atau kabupaten ada masjid yang menjadi sebuah ikon. Dan desain serta bangunannya biasanya berbeda tergantung masyarakat  setempat.
Ada satu hal yang menarik dan ini patut di banggakan. Setahu saya, di kota-kota besar ketika hari jum’at banyak orang-orang yang duduk berderet di bibir pintu keluar majid. Dihadapannya ada tempat semacam kaleng. Mereka berharap orang-orang yang barusan dari masjid melemparkan barang satu dua keping uang receh. Mereka adalah orang yang meminta-minta. Diantara mereka masih banyak yang mampu bekerja untuk mencari penghasilan. Tapi entah mengapa kok kayaknya lebih enjoy mencari penghasilan dengan meminta-minta. Padahal dalam ajaran agama sudah jelas tangan diatas itu lebih baik dari tangan dibawah. Dan kebetulan di Madura tidak ada terlihat seperti itu. Ataupun mungkin ada di beberapa tempat itu mungkin sebagian saja. Karena meminta-minta bagi orang Madura adalah suatu aib. Apalagi meminta-minta pada orang lain yang tida dikenal.
Jalanan masih tampak sepi. Dalam hari biasa untuk sampai dari satu kota kota lainnya harus menempu dua jam saat ini bisa di tempuh dalam satu jam.
Akhirnya rombongan bis kami mampir di sebuah pesantren.
“Brow! Gantian ya…biar aku turun dulu…”. Kata Surya. Banyak penumpang yang turun. Untuk sekedar melepas lelah, melihat suasana sambil menghirup udara segar. Udara yang tidak pernah didapatkan di kota-kota besar. Karena disini masih alami. Belum terkontaminasi oleh asap atau limbah pabrik. Mungkinkah suasana ini masih bisa dipertahankan beberapa tahun yang akan datang jika di area ini sudah banyak dibangun pabrik-pabrik yang melahirkan sampah-sampah industri?
“Ok…” jawabku singkat.
Pesantren ini di bangun sederhana. Tidak betingkat seperti lembaga-lemabag pendidikan di kota-kota besar. Dengan biaya murah masyarakat sudah bisa menitipkan anak-anaknya untuk ditempa disini. Di beberapa sudut bangunan terlihat beberapa santri sedang ngaji kitab. Biasanya di bulan ramadlan kegiatan pesantren lebih fokus pada kitab-kitab klasik karya para salafusshalih.
Memang, di Madura ada banyak warna dalam tradisi pengajaran pesantren. Ada yang murni hanya mengajarkan kitab-kitab kuning (kitab syarah yang gundul tapa harokat, biasanya karangannya ulama-ulama klasik). Ada sebagian menyeimbangkan pendidikan agama dan umum. Pada pagi hari para santri ke sekolah umum. Sore sampai malam belajar kitab. Ada juga yang hanya mengadopsi sistem pesantren. Hampir 80 % kurikulumnya umum seprti sekolahan pada umumnya. Cuma semua murid di asramakan seperti pesantren dengan kewajiban sholat berjama’ah setiap waktu.
Tak lama kemudian surya datang. Saya-pun segera beranjak keluar. Dari tadi sudah tidak tahan mau ke belakang.

No comments:

Post a Comment

Silahkan ngasi komentar... bagi siapa saja...