Monday, September 28, 2009

Tidak Butuh Syariah (4)

Kemudian beberapa hari kemudian saya konsultasikan ini dengan seorang yang saya anggap punya pengetahuan banyak dalam hal agama. Tapi sayang karena keterbatasan waktu kami masing-masing, kami tidak bisa mendiskusikan ini face to face. Akhirnya saya kirimkan sebuah Message lewat FB. Yang bunyinya:
"Assalamualaikum Pak, Pak...beberapa hari yang lalu saya berkunjung ke seorang kyai, kayaknya bagi beliau syariah itu tidak butuh lagi. Selengkapnya saya tulis di blog saya Pak di tamamcorp.blogspot.com atau di tamamcorp.wordpress.com
Mohon sarannya Pak..
"



Hari berikutnya saya lihat jawaban beliau di FB. Bunyinya:


"Wa'alaikum salam wr. wb. Dienullah adalah jalan hidup (pedoman hidup) yang diberikan untuk manusia, agar manusia bisa meraih kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Dienullah adalah suatu sistem. Sebagai suatu sistem, jika salah satu komponennya tidak berfungsi, maka tidak lagi bisa disebut "sistem." Syari'at, ma'rifat, hakikat, dan lainnya adalah merupakan komponen dari sistem Dienullah "Islam." Jika salah satu komponen ini tidak berfungsi, katakanlah syari'at, maka sebutannya bukan lagi sistem "Islam."

Nah, penafsiran pak kiyai yang sampeyan kemukakan tadi lebih bersifat rekaan beliau. Beliau menganggap, bahwa melalui rekaan beliau akan didapatkan kebahagiaan sejati. Padahal beliau adalah makhluk relatif yang sangat serba lemah. Dengan berbekal kelamahannya, beliau mencoba menerka-nerka jalan menuju kebahagiaan sejati. Mana mungkin akan dapat mencapainya? Yang Mutlak (Absolute) tidak bisa dijangkau oleh yang relatif. "Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai." (QS. AL Anbiyaa' : 23).

Manusia seringkali tidak menyadari. Mereka sering protes dan mengadili Allah, karena menurut persepsinya Allah itu tidak adil, kuno, kejam dan lain-lain. Padahal mereka itu hanyalah sekedar makhluk yang tidak tahu apa-apa dan sudah berani menilai Allah. Jangankan menilai dan mereka-reka, bertanya saja pun tidak bisa. "Pertanyaannya" tentang apa yang diperbuat Allah selalu dibatasi dari persepsi keterbatasannya.

Dalam kasus ini, ketika kita mencoba mencari jalan sendiri menuju kepada-Nya, sudah dipastikan tersesat. Sebab dimensi kita adalah dimensi relatif. Jadi yang berhak menunjukkan jalan itu adalah Allah sendiri, bukan manusia (walaupun dia mengaku dirinya sangat hebat). Kita hanya bisa menjalani, ditanyai apa yang sudah kita jalani dan mengapa kita menjalani. Itu saja.

Ketaatan seorang hamba Allah (Abdullah) jangan dikotori oleh upaya-upaya menyaingi majikan. Karena kita tidak akan pernah menjadi majikan. Kita adalah Abdullah.



Saya sangat sepakat dengan jawaban itu tapi Lagi-lagi saya muncul pertanyaan baru.
Dalam jawaban itu disebutkan bahwa: Dienullah adalah suatu sistem. Pertanyaan saya seperti dibawah ini:
"Saya Kurang sepakat kalau Dienullah (Agama Allah) itu adalah sebuah sistem. Akan tetapi alangkah lebih tepat jika merupakan BASIC VALUE. Kalau sistem itu bisa berubah, Kalau sistem itu adalah perangkat yang telah ditentukan sesuai kebutuhan manusia pada zamannya, saya sepakat jika sistem yang dimaksud hanya ibadah Mahdah atau lebih tepatnya hubungan Vertical (Hablumminallah) seperti halnya sholat. Yang ditentukan syarat rukunnya. Akan tetapi jika hubungan horizontal (Hablumminannas) Dienullah dalam hal ini merupakan Basic Value. 
Satu misal, dalam dunia perekonomian, alangkah lebih tepat jika di sebut sebagai EKONOMI ISLAMI dari pada EKONOMI SYARIAH? Karena kalau Ekonomi syariah adalah sebuah sistem baku. Kita tahu undang-undang dan hukum-hukum Islam itu sudah dicetuskan sekitar 15 Abad yang lalu, yang pada waktu itu perekonomian tidak seperti sekarang. Mungkin pada waktu itu belum ada yang namanya Bank dan sistem perekonomian seperti sekarang.
Sistem terus berkembang seiring dengan berkembangnya peradaban manusia. Kalau Islam (Dienullah) itu sebuah sistem dalam hubungan Horizontal maka Islam tidak akan diterima sepanjang zaman. Mungkin pada waktu diturunkannya sangat relevan tapi saat ini??
Mohon maaf bukan maksud Mujadalah, saya hanya ingin mencari penawar akan kerisauan hati... dan dalam hal ini bukan bentuk kesetujuan dengan SEKULARISASI yang pernah di gagas oleh Alm. Noer Cholis Madjid.
Mohon jawabannya Pak...

No comments:

Post a Comment

Silahkan ngasi komentar... bagi siapa saja...