Sunday, September 27, 2009

Madura is Flat (2)

Langit sudah memerah, sebentar lagi malam akan menelan cahaya. sebentar lagi sang tenggelam ke peraduannya. Bis yang kami tumpangi melaju pelan tapi pasti. Disana-sini banyak terlihat orang-orang lalu-lalang, mungkin mereka pulang kerja atau mau keluar sekedar menunggu malam. Malam ga ditunggu-pun pasti datang hehe… dalam lamunanku melihat orang-orang ini saya jadi teringat beberapa waktu yang lalu sempat melihat post-nya seorang kawan yang mengatakan dan mempertanyakan bagaiamana masyarakat Madura paska terbangunnya suramadu, yang akan membawa perubahan diberbagai segi, sedangkan masyarakat Madura enggan menyekolahkan anaknya..”. katanya demikian di posting salah satu blog di internet.


Kalau dikatakan “Orang Madura Enggan Menyekolahkan Anaknya” kayaknya kata-kata itu kurang pas, setahu saya tidaklah demikian. Bukannya enggan menyekolahkan anaknya melainkan kebanyakan masyarakat Madura lebih memilih pendidikan pesantren dibandingkan pendidikan umum.


“Mas jama berapa kita berbuka?” Tanya Ayak.
“Ya, bentar lagi. Sekitar setengah jam”. Kataku sambil melirik jam tangan. “Wah, kamu ini hebat ya… masih sanggup berpuasa…”.
“Iya mas… eman-eman kan kalau batal nanti ada tanggungan hutang puasa…”.
Ayak, ayak… gumamku dalam hati, setahu saya Allah memberikan keringanan untuk tidak berpuasa bagi orang yang sedang bepergian. Dan kalau ga salah Allah menganggap sombong orang yang tidak menggunakan rukhsoh-Nya hehe… itu apologi saya saja she… karena saya ga puasa.
“Mas, itu orang lagi ngapain saja…”. Kata Ayak sambil menunjuk anak-anak muda dipinggir jalan. Meraka kayak cangkruan. Nyantai bareng sambil menunggu datangnya waktu berbuka.
“Oooo.. itu, orang-orang yang ‘Nyare Malem’ atau dalam bahasa jawanya Ngabuburit…”. Jawabku singkat. Nyare malem adalah kebiasaan masyarakat menjelang buka puasa di bulan ramadlan. Hal ini bukan saja dilakukan oleh masyarakat Madura akan tetapi hamper semua masyarakat yang nota bene muslim. Biasanya hanya duduk-duduk dipinggir jalan. Atau sambil jalan-jalan santai. Sekitar 15menit sebelum buka puasa mereka sudah pada kembali ke rumahnya masing-masing.
“Itu mas lambing apa?”. Kata Ayak, tatapan matanya menuju kearah gambar besar seorang ksatria. Dengan baju iris-iris merah putih, udheng dikepala, sebelah tangannya memegang sebilah celurit. Dia-lah pak sakera. Wah, saya jadi membayangkan kepahlawanan beliau. Kalau memlihat sepintas sangar memang penampilannya. Kayak orang yang suka berbuat jahat, keras. Akan tetapi lambing Sakera sebenarnya adalah lambing kerasnya karakter orang Madura, keras dalam segala hal. Tapi pertanyaannya sekeras lambing itukah nantinya masyarakat Madura ketika banyak budaya-budaya luar yang masuk, semoga saja…
Tidak mudah untuk konsisten terhadap adat istiadat. Semuanya akan bergeser sesuai denga perjalanan sang waktu. Semuanya akan berubah, tak terkecuali perubahan itu sendiri. Pertanyaannya adalah perubahan apa yang kita inginkan?? Dunia ini dinamis, yang muda sekarang kelak akan menjadi tua. Dulu berbicara dengan orang pada saat yang sama di lain tempat adalah dongeng para orang tua, sekarang dengan perkembangan zaman semuanya bisa. Malah kita bisa bicara face to face dengan orang nun jauh disana dengan adanya teknologi 3g. semuanya akan berubah, kecuali Tuhan yang tiada kan pernah berubah.
Dengan rampungnya Suramadu ini Madura akan mengalami banyak perubahan, salah satunya perubahan dalam budaya. Semoga masyarakat Madura yang terkenal agamis kelak tidak hanya menjadi cerita orang tua belaka. Semoga konsistensi keberagamaan ini tetap terpatri dalam jiwa masyarakat Madura, Amien.

Tidak Butuh Syariah (2)

"Ada beberapa tingkatan dalam beragama..." kata Beliau. "Yang Pertama, syariah, tharekat, Hakekat dan Makrifat...Syariah adalah bagian terluar. Jadi, orang yang tidak pernah melangkah ke tahapan selanjutnya...".
Tahapan selanjutnya yang dimaksud adalah Tharikat, Hakekat dan Makrifat. "Orang yang masih selalu berkutat pada syariat (Mengamalkan Syariat) maka dia mandeg disitu...". Lanjut beliau.
kemudian saya bekomentar; "Bukankah, syariat itu untuk membentuk karakter dan kepribadian seorang muslim?".
"Iya betul, tapi apakah kita hanya terus pada training itu. Ketika orang sudah lulus training apakah dia selalu dalam training itu. Ada hal yang lebih penting, yakni mengamalkan apa yang kita dapat dari Training itu...".
"jadi, ketika kita sudah sekian lama berada dalam syariah, untuk menuju tahapan selanjutnya harus meninggalkan syariah itu....?"
Dengan santai beliau menjawab: "Sekarang saya ibaratkan seorang anak kecil yang diberikan aturan sama orang tuanya, bahwa dia TIDAK BOLEH KELUAR RUMAH SETELAH MAGHRIB. Pada suatu saat ketika maghrib tiba ada jemuran yang belum di entas (di bawa kedalam rumah), trus, si bapak nyuruh ke anaknya untuk mengambil pakaian itu, apakah tidak boleh sia anak mengambilnya. sedangkan itu perintah Bapaknya? Syariah bagaikan aturan yang dibuat si bapak untuk si anak itu..."
saya hanya diam sambil mencoba menelaah benarkah apa yang dikatakan beliau itu. Sabil menghisap sebatang rokok beliau melanjutkan, "Kamu tahu telur? ada beberapa bagian dalam telur. Bagian terluar adalah kulitnya yang keras, kedalam sedikit ada kulit putih tipis yang rasanya sepet bila dimakan. Kemudian ada putih telur yang rasanya agak kenyal, namun tidak terlalu nikmat kalau tidak dicampur dengan bahan lain. Bagian yang paling dalam adalah merah telur (Folk), dan ternyata inilah yang paling enak. Tanpa dicampur apapun rasanya sudah begitu nikmat. Seperti inilah orang yang sudah makrifat, dia tidak butuh apapun hanya butuh Allah. Dan ini sangat nikmat sekali. Kamu kalau makan telur tidak bisa memakan semuanya, apalagi makan sama kulitnya...? Begitu juga dengan orang beragama...?"
"Jadi, Syariat, tharikat, hakekat dan makrifat itu tidak bisa berjalan bersama?" tanyaku.
"Ya seperti makan telur itu tadi..." Jawab beliau singkat.
Namun saya masih belum puas dengan jawabannya, "Yang saya tahu, Nabi Muhammad adalah suri tauladan bagi kita, beliaulah manusia yang mampu secara totalitas (Kaffah) menjalankan agama ini dan beliau masih menggunakan syariat...??"
Beliau hanya menjawab, "nabi Muhammad kan punya tugas untuk syiar. Memang sedikit orang yang mampu menempuh jalan ini, kebanyakan orang masih berputar di syariah..."
(To be continued)

Tidak Butuh Syari'ah (1)

All Road Lead to Rome... Kurang lebih artinya "Banyak jalan menuju Roma". Ketika kita menuju satu tujuan, tidak hanya bisa meleawti satu jalan. Melainkan banyak jalan-jalan berbeda namun punya tujuan yang sama. Demikian juga dengan beragama, meskipun menurut sebagian orang hanya jalannya yang ditempuh itu adalaha yang terbaik bagi dia mungkin bagi orang lain itu jalan yang salah dan sesat.
Jangankan antar agama, pemeluk agama yang sama sekalipun akan saling menyalahkan ketika punya cara pandang yang berbeda.
Dalam kesmpatan ini sedikit saya akan sharing tentang beberapa perbedaan jalan dalam islam. Hanya sekeda r pandangan yang mungkin bisa benar menurut sebagian orang atau bisa sangat salah bagi lainnya.
Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa syariat merupakan hal penting dalam agama Islam. Karena disinilah aktivitas dan perilaku serta karakter seorang muslim dibentuk. Syariat seperti halnya denyut jantung dan hembusan nafas dalam beragama. Sedangkan hatinya adalah keimanan dan ketakwaan kita pada Allah.
Nilai keberagamaan seseorang diawali dengan iman. Iman ini menjadi pangkal dalam sebuah agama. Karena keimanan akan otomatically terkejawantahkan dalam perilaku kehidupan. Dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa: Iman adalah pembenaran di hati. Di ikrarkan dengan lisan dan diamalkan dalam perbuatan… jadi keimanan itu tidak cukup dengan pembenaran, akan tetapi harus ada tindakan nyata dalam implementasi kehidupan.
Sekarang coba kita ulas tentang aliran yang tidak menggunakan syariat.
Beberapa hari yang lalu saya kebetulan banyak diskusi dengan salah seorang tokoh kharismatik dan punya khazanah yang luas dalam pengetahuan agama. Lama kami berdiskusi, yang saya rasakan beliau begitu mantap keimanannya, termasuk juga dalam pemabahasan mengenai tanggung jawab agama dalam individu dan social. Bahwasanya seorang muslim sejati tidak hanya mampu menguasai kesalehan individu dia-pun harus menguasai kesalehan social. Karena sesuai dengan sabda nabi “Manusia terbaik adalah dia yang bermanfat buat orang lain”.
Tapi hal yang mengganjal dihati, ketika beliau membahas tentang syariah…??? (to be Continued)

Tuesday, September 22, 2009

Malam Sunyi

Malam ini begitu sunyi, sepi, senyap. Tarian hari melambai seiring detak lambaian kesunyian malam. Menyapa bayang nurani yang terbelenggu dalam kerinduan. Rindu melihat wajahmu, membelai rambutmu. Ingin mendengarkan suara lembutmu. Sayang… malam ini aku begitu merindukan kehadiranmu… dalam bayang kerinduan ini ku coba mencurahkan rasa hati diantara tarian jari-jemari ini berharap kerinduan hati segera terobati. Tapi yang ada hanyalah menambah sendunya kerinduan ini. Aku tak tahu apakah disana kamu juga merindukan aku sebagaimana aku meerindukanmu…
Bayang lembut embun, bertebaran menyelimuti jagad raya. Terbang berangkulan bersiap mnyambut fajar yang sebentar lagi menyingsing. Itulah lambang awal kehidupan ini, kehidupan indah yang akan kulalui bersama, bersama cinta kasih dan sangmu…
Ya Allah… Tuhan semesta alam, ridloilah jalinan cinta ini dibawah naungan keagungan-Mu…. Jadikanlah kami sepasang kekasih sejati sampai kakek-nenek nanti… Jadikanlah cinta ini sebagai wujud pengabdian kami kepada-Mu…Tuntunlah kami dalam menjalani bachtera cinta hingga kami bertambah dekat dengan-Mu…
Cintaku….bangunlah sayang, sebentar lagi fajar menyingsing. Sujudlah di keharibaan Ilahi Rabbi… adukanlah kepada-Nya keluh kesah dalam kehidupanmu, agar kamu selalu tersenyum dalam bahagia… basuhlah wajahmu dengan dengan sucinya air wudlu… jadilah wanita sholehah. Engkaulah pemimpin rumah tanggamu, akulah pemimpin keluargamu kelak… bangunlah sayang dekatlkanlah wajahmu diantara lembutnya tempat sujud.
Sayang… andai malam ini membawaku disisimu. Akan kupeluk dirimu, akan kubelai wajahmu, akan kulindungi dirimu dari dinginnya angin malam. Akan kujaga dirimu sampai pagi menyapa.
Ditengah seperempat malam yang indah ini, ingin ku ucapkan kepadamu bahwa aku menyayangimu melebihi sayangku pada diriku sendiri. Jangan pernah sia-siakan cinta ini… rawatlah, jagalah… marilah kita arungi kehidupan ini dengan bachtera cinta kita.
Adekku yang baik… seperti halnya malam, tiada kan pernah ada tanpa adanya siang. Seperti halnya bunga tidak akan pernah ada tanpa adanya tangkai. Seperti halnya bulan tiada kan pernah ada tanpa adanya siang. Begitulah aku dan kamu. Tiadalah dirimu tanpa adanya aku, dan tiadalah aku tanpa adanya dirimu. Karena aku adalah dirimu dan dirimu adalah diriku….
Adekku yang baik… hidup ini selalu berjalan memutar. Ada sedih ada bahagia, ada tangis ada tawa. Begitu juga perjalanan cinta dan kasih sayang kita akan dihiasi dengan tangis dan tawa, semoga tangis dan tawa itu menambah eratnya cinta kita. Menaburkan keindahan dalam perjalanan kasih sayang kita. Jika keraguan menguasai hatimu, itu hanya godaan syaitan yang iri akan sucinya cinta kita. Yakinkankanlah selalu dihatimu bahwa aku mencintaimu, hanya kamu yang aku sayangi…. Cintailah aku karena mencintai Pencipta-ku. Insya Allah cinta ini membawa kebahagian kita di dunia sampai akherat kelak…
Malam ini 10 malam terakhir bulan suci ramadlan. Setiap doa yang dipanjatkan terkabulkan. Saya bersimpuh dalam linangan air mata doa ‘Semoga aku dan kamu menjadi lebih baik dan tambah beriman dengan hadirnya cinta ini… semoga kita bahagia sampai tua kelak dan di akherat nanti…’
Sayang… seluruh jagad raya terdiam mendengar bisikan doa ini. Mereka-pun mendoakan yang sama pada Allah untuk kita… para malaikat-pun tersenyum merestui niatan tulus ikhlas ini…
Sayang…. Aku sungguh sayang padamu…

Madura is Flat


Setelah lama berputar di kota Surabaya akhirnya bis yang kami tumpangi sampai pada jembatan bersejarah yang menghubungkan Surabaya dan Pulau Madura. Suasana mulai rame banyak komentar-komentar yang otomatically muncul dari bibir penumpang. Gorden jendela bis hampir semuanya tersingkap. Tampaknya kebanyakan penupang ingin menikmati suasana diluar.
“Kak ini jembatan apa namanya kok panjang banget….?” Kata Ayak setengah takjub.
“Ini namanya jembatan suramadu. Ini lho yang sering masuk di siaran TV…”
“Oooo….” Ayak kayaknya sudah tidak konsetrasi dengan jawaban itu. Ia lebih larut dengan pemandangan yang terhampar di depan matanya.
“Indahnya ya….”. Bisikku pada Surya.
“He ee…”. Surya-pun sudak ga konsentrasi dengan bisikanku. Matanya seolah melahap semua dihadapannya, tak ingin terlewatkan sedikitpun.
Orang-orang begitu terkesima dengan jembatan yang panjang ini. Begitu hebatnya sang arsitek. Bagaimana lautan tiang-tiang penyangga ditancapkan di tengah-tengah lautan yang begitu dalam. Bagaimana alat-alat berat mengangkut semen, pasir dan diramu detangah-tengah lautan ini.
Takjub dan sangat takjub. Tapi kalau kita lihat lebih jauh siapa yang telah menancapkan pondasi-pondasi gunung kedalam perut bumi. Bagaimana ada semburan api keluar dari perut bumi. Bagaimana langit nun jauh diatas sana indah tergantung dengan hiasan lazurdinya yang membiru. Siapa-kah Sang Arsitek? Bisakah manusia membuat hal yang sama? Tiada yang bisa menjadi arsitek kecuali dia yang Maha Kuasa.
Kelihatan sekali kalau jembatan ini barusan saja di bangun. Di kanan kiri masih tampak beberapa bagian kecil belum selesai.
Sang mentari sudah bergeser sepenggalan ke arah barat Pertanda hari sudah menjelang sore. Indonesia kini masih tetap seperti yang dulu. Seperti desa ini masih tetap seperti yang dulu. Tak ada perubahan. Tadi pas pulang kebetulan melewati jembatan yang katanya terpanjang se-Asia Tenggara. Ada juga yang bilang terpanjang ke-5 sedunia. Jembatan Suramadu. Demikian orang-orang memanggil jembatan ini. Mungkin karena jembatan ini menghubungkan antara Surabaya-Madura makanya disebut dengan jembatan Suramadu.
“Kak panjang banget ya…” Kata Shinta yang kebetulan mudik kali ini dia ikut. Dia bersama kakaknya lebaran dirumah mertua di pulau ini. Dengan wajah yang agak heran dia terus memelototi hamparan lautan yang membentang.
“Sudah lama aku ga lihat pantai….”. Gumamnya pelan. Ayak-pun demikian dia tak kalah takjubnya melihat pemandangan ini. Ayak adalah adik Shinta. Mereka berdua kakak beradik. Mereka adalah adik ipar dari Surya temanku.
Bis terus melaju dengan kencang. Memang saya rasakan dengan adanya jembatan ini mengurangi tingkat kemacetan. Biasanya Hari Raya -5 pelabuhan penyeberangan yang menghubungkan dua pulau ini macet. Bisa sampe berjam-jam hanya untuk menyeberang. Dan asyik dan enjoy memang dengan adanya jembatan ini kemacetan yang melelahkan dan membosankan tidak terjadi.
Jembatan ini sebenarnya dibangun sekitar 10 tahun yang lalu. Tapi baru dapat dirampungkan pada pertengahan tahun 2009 ini. Ada banyak kontroversi yang muncul diawal-awal pembangunannya. Sebagian besar ulama pulau Madura menolak dengan alasan yang sangat rasional menurut pemahaman mereka. Dengan adanya jembatan ini secara otomatis akan membawa dampak budaya yang bisa mengurangi nilai-nilai luhur yang telah lama terbangun di pulau ini. Tapi disisi lain pihak tertentu justru sangat mendukung. Karena dengan dibangunnya jembatan ini memungkinkan banyak investor baik asing ataupun dalam negeri untuk membangun infra-struktur di pulau ini. Dengan harapan nantinya dapat membawa perubahan dan perbaikan perekonomian masyarakat setempat. Atau jangan-jangan penduduk di pulau ini akan menjadi tamu di rumahnya sendiri karena tidak siap menghadapi persaingan yang akan muncul. Mungkin hal ini yang muncul di benak para ulama-ulama yang menolak tersebut.
Tapi yang pasti ketika perubahan itu datang akan banyak terjadi trasnsformasi budaya yang biasa mengikis budaya setempat. Dan lebih cenderung kearah negatif.
Memang biasanya kemajuan kemajuan suatu daerah dalam hal ini kemajuan industri berbanding terbalik dengan peningkatan moral dan budaya.
Apapun yang menjadi kontroversi yang pasti jembatan ini sudah selesai dibangun. Dan sejak sekitar 1,5 bulan yang lalu diresmikan presiden.
“Hallo…. Dek pean tahu tak ceritain ya..” Kata Andi seraya menempelkan HP di telinganya.
“Ne Aasyik banget dek, saya sudah sampe di jembatan Sura-Madu…”. Katanya sambail setengah berseru kegirangan. Karena dia baru kali ini melewati jembatan ini.
Wee… senengnya rek…. Bagus mas ya..??” dari seberang menjawab.
“Ya Iya lah… Suramadu gitu lho…”.
“Sebagus apa she… jadi pengen lihat…”.
“Sejauh mata memandang terhampar lautan membentang. Ada banyak burung camar beterbangan saling bernagkulan, kadang bersenggolan berebut ikan. Kanan-kirinya tempat sepeda. Sedangkan jalur lebar ditengahnya khusus kendaran roda empat. Ditengah-tengah jembatan agak menanjak kemudian beberapa meter ke-atas. Mungkin dibawahnya tempat kapal yang mau lewat. Kata sebagian orang sih bisa diangkat….kayak buka tutup itu paling ya….”.
”Ko paling seh….. “
“Iya habisnya saya bukan arsiteknya hehehe…”
“Trus rame ga mas…?”
“Ruaaame Pol!!! Tapi sayang kayaknya ga bisa berhenti ditengah-tengahnya untuk melihat pemandangan. Malah barusan tadi saya lihat polisi mengahmpiri ketika salah-satu kendaraan mandek ditengah-tengah jembatan…”
“Oooo… mungkin terlalu berbahaya….”.
Memang jika diperbolehkan berhenti di tengah-tengah jematan ini sangat besar bahayanya. Ini juga bisa menjadi tempat bunuh diri yang efektif.
Pulau Madura terkenal kental budayanya. Jangankan di tanah kelahirannya sendiri dimana tempat orang Madura berada tetap dia bawa budaya nenek moyangnya.
Jadi teringat salah seorang teman saya ketika dia korespondensi dengan MH. Ainun Nadjib di lapangan luar Gajayana Malang. Ketika itu tema yang diangkat cak Nun tentang Pemilihan Presiden ditaun 2004.
“Cak saya mau nanya. Dari serangkaian pemaparan cak Nun tadi kayaknya belum mengarah pada satu kesimpulan calon Presiden yang pas untuk kebutuhan bangsa indonesia saat ini.”. Hadirin semuanya menyimak korespondensi itu. Sebelum cak Nun menjawab teman saya itu melanjutkan. “Saya harap cak Nun menjawabnya dengan bahasa Indonesia saja…”.
Mendengar itu cak Nun balik bertanya, “Jenengan  orang mana?”.
Teman saya menjawab. “Madura…”. Langsung serentak penonton ‘Geeeeeeerrr!!!!’
“Beginilah orang Madura, dimana-dimana selalu pake bahasa Madura. Beda sama orang Cina. Di jawa mereka pake bahasa jawa. Di kalimantan dia pake bahasa kalimantan di jawa barat mereka pake bahasa sunda. Tapi orang Madura dimana-mana tetep saja pake bahasa madura…”.
“Geeeeeeeeerrr!!!” kembali penonton serempak bersorak.
Karena mungkin bahasa merupakan salah satu bagian penting dalam suatu komunitas masyarakat makanya orang Madura seperti itu.

----------o0o----------

Bis yang kami tumpangi telah sampai di bibir pulau Madura. Ada pertigaan disini. Kekiri mungkin kerah Kamal, tempat pelabuhan. Tapi kami tetap saja luru kedepan. Setelah beberapa kilometer sampailah pada pertigaan yang ke-2. Disini jalur utama jalan antar kabupaten. Jalan yang biasanya dilewati oleh bis-bis dari jalur surabaya ke tujuan akhir Sumenep.
Jalanan tampak sepi, tidak seperti hari-hari biasanya. Mungkin karena hari ini masih dalam suasana bulan puasa. Dari tadi pedagang asongan tidak seperti biasanya juga. Hanya tampak seliweran sebagian saja.
Alhamdulilah, di Madura makan siang hari di bulan ramadlan keihatan aib. Tidak seperti di kota-kota besar disini walau mungkin ada sebagian warung yang masih buka tapi biasa masih sembunyi-sembunyi atau paling tidak masih di tutupi tabir biar yang sedang di dalam warung tidak keihatan orang. Mungkinkah suasana ini masih tetap terjaga jika beberapa tahun yang akan datang pulau ini banyak dihuni oleh pendatang dari berbagai tempat. Apalagi kalau para pendatang itu adalah turis-turis asing?.
“Yah, yah… “ kata Fahri sambil menunjuk ke botol minuman anak kecil. Fahri masih berumur sekitar 2 tahun. Dia hasil perkawinan antara orang Madura dan Sumbawa. Tapi tinggalnya di Malang.
“Ini nak…”. Kata Surya sambil menunjuk ke salah satu botol minuman di tasnya. Fahri mengangguk. Langsung saja tanpa fikir panjang Fahri meneguk minuman itu. Hal yang sama tidak mungkin sama terjadi ketika hal itu dlakukan  oleh orang dewasa. Makan atau minum siang hari di bulan puasa. Karena hal tersebut merupakan aib dalam tradisi Madura.
Bis terus saja melaju, meninggalkan kepulan-kepulan asap yang menyengat. Inilah polusi udara. Yang punya kontribusi bocornya lapisan ozon. Mau bagaimana lagi wong masih fasilitas inilah yang ada di negeri ini.
Sampai disatu tempat, banyak orang-orang berhamburan dalam masjid. Ooo sekarang bulan puasa, gumamku.
Tampaknya masjid merupakan masjid jamik. Biasanya setiap kota atau kabupaten ada masjid yang menjadi sebuah ikon. Dan desain serta bangunannya biasanya berbeda tergantung masyarakat  setempat.
Ada satu hal yang menarik dan ini patut di banggakan. Setahu saya, di kota-kota besar ketika hari jum’at banyak orang-orang yang duduk berderet di bibir pintu keluar majid. Dihadapannya ada tempat semacam kaleng. Mereka berharap orang-orang yang barusan dari masjid melemparkan barang satu dua keping uang receh. Mereka adalah orang yang meminta-minta. Diantara mereka masih banyak yang mampu bekerja untuk mencari penghasilan. Tapi entah mengapa kok kayaknya lebih enjoy mencari penghasilan dengan meminta-minta. Padahal dalam ajaran agama sudah jelas tangan diatas itu lebih baik dari tangan dibawah. Dan kebetulan di Madura tidak ada terlihat seperti itu. Ataupun mungkin ada di beberapa tempat itu mungkin sebagian saja. Karena meminta-minta bagi orang Madura adalah suatu aib. Apalagi meminta-minta pada orang lain yang tida dikenal.
Jalanan masih tampak sepi. Dalam hari biasa untuk sampai dari satu kota kota lainnya harus menempu dua jam saat ini bisa di tempuh dalam satu jam.
Akhirnya rombongan bis kami mampir di sebuah pesantren.
“Brow! Gantian ya…biar aku turun dulu…”. Kata Surya. Banyak penumpang yang turun. Untuk sekedar melepas lelah, melihat suasana sambil menghirup udara segar. Udara yang tidak pernah didapatkan di kota-kota besar. Karena disini masih alami. Belum terkontaminasi oleh asap atau limbah pabrik. Mungkinkah suasana ini masih bisa dipertahankan beberapa tahun yang akan datang jika di area ini sudah banyak dibangun pabrik-pabrik yang melahirkan sampah-sampah industri?
“Ok…” jawabku singkat.
Pesantren ini di bangun sederhana. Tidak betingkat seperti lembaga-lemabag pendidikan di kota-kota besar. Dengan biaya murah masyarakat sudah bisa menitipkan anak-anaknya untuk ditempa disini. Di beberapa sudut bangunan terlihat beberapa santri sedang ngaji kitab. Biasanya di bulan ramadlan kegiatan pesantren lebih fokus pada kitab-kitab klasik karya para salafusshalih.
Memang, di Madura ada banyak warna dalam tradisi pengajaran pesantren. Ada yang murni hanya mengajarkan kitab-kitab kuning (kitab syarah yang gundul tapa harokat, biasanya karangannya ulama-ulama klasik). Ada sebagian menyeimbangkan pendidikan agama dan umum. Pada pagi hari para santri ke sekolah umum. Sore sampai malam belajar kitab. Ada juga yang hanya mengadopsi sistem pesantren. Hampir 80 % kurikulumnya umum seprti sekolahan pada umumnya. Cuma semua murid di asramakan seperti pesantren dengan kewajiban sholat berjama’ah setiap waktu.
Tak lama kemudian surya datang. Saya-pun segera beranjak keluar. Dari tadi sudah tidak tahan mau ke belakang.